Pages

Rabu

Al azhar Sekilas Pandang

Kaitan Erat Antara Mesir dan alazhar bagai pinang yang dibelah dua tak bisa dipisahkan .dimana ada mesir disitu ada al azhar dimana ada al azhar disitu ada mesir ,ya kira kira begitulah sejarah membuktikan .kita lihat apa itu mesir disisi alqur'an Sebelum al azhar.mesir juga sudah terkenal Dengan negeri para nabi nya : Para Nabi yang pernah ke Mesir Para nabi yang pernah singgah dan menginjakkan kaki di Mesir antara lain,Nabi Ibrahim, Nabi Ya'qub beserta keluarga, Nabi Yusuf, Nabi Musa lahir di Mesir,Nabi Harun, Nabi Daniel, Nabi Shaleh, dan Nabi Isa a.s Nabi Ya'qub beserta putra-putranya pindah ke Mesir karena Nabi Yusuf menjadi pembesar...

dan pembantu kepercayaan Fir'aun sehingga keluarga merekadiperbolehkan tinggal di Mesir.

Sejak saat itulah kaum Bani Israil tinggal di Mesir.Akan tetapi Nabi Ya'qub beserta putra-putranya tidak ada yang dimakamkandi Mesir kecuali Nabi Yusuf yang dulunya dimakamkan tengah-tengah sungai Nil,namun setelah itu makamnya dipindahkan oleh Nabi Musa ketika ia keluar bersamaBani Israil untuk menuju ke tanah yang dijanjikan.Nabi Musa sendiri lahir di Mesir. Sebagain penduduk meyakini bahwa NabiMusa lahir di daerah Uskur dua jam perjalanan dari Cairo ke arah selatan. MungkinUskur sekarang masuk wilayah Propinsi Gizah.Nabi Isa bersama ibunya juga pernah ke Mesir, bahkan di daerah Mathariyyahpinggiran kota Cairo ada pohon Tin yang konon dijadikan tempat berteduh olehMaryam saat memelihara Isa yang wakut itu masih kecil. Dalam pelariannya Maryammembawa Nabi Isa bukan hanya sampai ke Mesir, namun juga sampai ke Bahnasa
diMenya (Daerah Shaid Mesir).

 Pohon itu masih ada sampai sekarang dan disebut Syajaratu Maryam atau pohon Maryam Sahabat yang pernah singgah di Mesir Zubair bin Awwam, Miqdad bin Aswad, Ubadah bin Shamit, Abu Darda,Fudhalah bin Ubaid, Amr bin Ash, Amr bin Alqamah, Nafi' bin Malik, Sa'd bin AbiWaqqash, Kharijah bin Hudzafah, Ammar bin Yasir, Khalid bin Walid, Uqbah binAmir, dan lain-lain. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa penentuan arah kiblatmasjid Amr bin Ash dihadiri oleh sekitar 80 orang sahabat Nabi muhammad saw Sejarah Berdirinya Al-Azhar Ia adalah sebuah masjid sekaligus universitas di kota Kairo yang dibangun oleh Jawhar Al-Katib As-Shoqly (Ilyas As-Shoqly, panglima tentara Abu Tamim, setahun setelah Dinasti Fatimiyah menaklukkan Mesir.

Hal itu langsung dilakukan setelah mereka mendirikan Markas Kerajaan mereka yang baru (Kota Kairo didirikan Jumadil Ula tahun 259 H / Maret 873 M, Al-Azhar didirikan Ramadhan tahun 361 H / Juni 875 M), kemudian langsung dipergunakan untuk sholat pada saat yang sama. Masjid dibangun di sebelah tenggara kota Kairo, dekat dengan Istana Besar yang waktu itu ada diantara daerah Ad-Daylam sebelah timur dan Daerah At-Turk sebelah selatan. Al-Azhar adalah masjid Jami’ pertama yang dibangun di Kairo. Pada saat dibangun ia berbentuk satu bangunan yang terbuka di tengahnya (dalam bahasa Arab disebut Shohn, meniru arsitektur Masjid Al-Haram), di dalamnya ada 3 ruwaq (ruangan khusus yang dipergunakan untuk kegiatan belajar atapun penampungan pelajar), yang paling besar adalah Ruwaq Al-Qiblah. Waktu itu luasnya hanya setengah luas yang ada sekarang. Jawhar menorehkan tulisan relief di sekitar Kubah yang bertahunkan 360, yang nash tulisan lengkapnya bisa diketahui dalam tulisan Al-Maqrizy (Al-Khattath, jld II, hal 273, baris 24-26).

Sejak saat itu, pahatan tersebut menghilang. Para penguasa Fatimiyyah memperluas bangunan masjid dan menetapkan waqaf khusus untuknya. Sebagai contoh adalah Al-Aziz Nazzar (365-386H / 976-996 M) yangtelah menjadikan Al-Azhar sebagai Akademi Keilmuan dan mendirikan penampungan bagi orang-orang faqir yang bisa menampun 35 orang. Diriwayatkan bahwa pada bangunan pertama masjid ini terdapat relief burung-burung yang terpahat pada puncak tiga tiang yang berfungsi untuk menjaga agar jangan sampai burung bersarang di situ. Ketika Al-Hakim Bi Amrillah berkuasa, (386-411 H / 996-1020 M),

dia memperluas bangunan masjid dan mengkhusukan wakaf untuk bangunan tersebut dan juga bangunan lainnya. Hal itu juga disebutkan oleh Al-Maqrizy ketika menceritakan kejadian tahun 400 H. Pada tahun 519 H, Al-Amir membuat miharab di dalamnya yang dihiasi dengan ukiran-ukiran kayu. Ukiran-ukiran tersebut masih tersimpan di Daarul Atsar Al-Arabiyyah (Pusat Peninggalan Arab) di Kairo.

 Nama Al-Azhar berhubungan erat dengan Dinasti Fatimiyyah yang mendirikannya. Dikatakan bahwa Al-Azhar sebagai simbol bagi Fatimah Az-Zahraa radliyallahu anha putri Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wa sallam. Sebagaimana salah satu koridor Al-Azhar dinamai dengan Fatimah radliyallahu anha. Al-Mustanshir dan Al-Hafizh juga ikut menambah sedikit luas masjid Al-Azhar. Dinasti Fatimiyyah adalah Dinasti Syiah Bathiniyyah yang berusaha untuk menyebarkan ajarannya tersebut dengan mendirikan Al-Azhar. Kemudian Sholahuddin Al-Ayyubi berhasil menaklukkan Dinasti Fatimiyyah.

 Pada masanya Al-Azhar ditutup sama sekali, dan dilarang dipakai untuk kegiatan apapun. Hal itu dilakukan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh syiah yang masih kental. Sebagai gantinya, Sholahuddin mendirikan madrasah-madrasah di sekitar Al-Azhar yang mengajarkan Islam dengan empat madzhab Sunny, yang bangunannya masih ada sampai sekarang. Al-Azhar ditutup untuk umum selama hampir satu abad lamanya, selama Dinasti Ayyuby, sebelum kemudian para bangsawan dan pejabat kerajaan mulai menaruh belas kasihan terhadap Al-Azhar. Ketika Raja Az-Zhahir Bibris berkuasa, pada Dinasti Mamluky, Al-Azhar diadakan perbaikan dan perluasan Al-Azhar. Ia memberikan dorongan untuk dibuka lagi kegiatan belajar mengajar di sana. Dan pada tahun 665 H / 1266-1267 M, khutbah di Masjid Al-Azhar diperbolehkan kembali. Langkahnya terebut mendapatkan sambutan dari semua Pihak. Para Penguasa setelahnya mengikuti langkahnya dalam menghidupkan dan memakmurkan Al-Azhar. Sehingga cahaya Al-Azhar yang telah padam itu lambat laun mulai bersinar kembali. Ketika Tentara Mongol memporak porandakan Bagdad, umat Islam kehilangan Pusat Keilmuan di Timur waktu itu. Ditambah Andalus juga jatuh ke tangan kaum Franj yang Kristen yang menghapuskan peradaban Islam di sana. Namun pasukan Dinasti Mamluk yang dipimpin Sultan Qathz berhasil menaklukkan pasukan Mongol yang bergerak ke Palestina menuju Mesir, dalam pertempuran yang terkenal di ‘Ain Jalut 658 H / 1260 H.

 Kejadian itu menjadikan para ulama dan penuntut ilmu datang berbondong-bondong ke Mesir yang merupakan daerah Islam yang teraman pada masanya. Hal itu menjadikan Al-Azhar menjadi kiblat keilmuan umat Islam, dikarenakan berkumpulnya para ulama dari berbagai belahan dunia di sana. Apalagi para penguasa Dinasti Mamluky benar-benar memperhatikan dan menjaga eksistensi Al-Azhar dengan segala kemampuan mereka. Harta wakaf senantiasa mengalir untuk menjamin kesejahteraan para pengajar dan para pelajar. Pada tahun 665 H / 1266 M, Pangeran Izzuddin Aidmar melakukan renovasi bangunan-bangunan yang sudah retak. Ia juga mengambil kembali halaman Al-Azhar yang sudah diserobot penduduk setempat. Hal itu dirayakan dengan mengadakan Sholat Jumat di Al-Azhar pada tanggal 18 Rabiul Awwal 665 H / 19 November 1266 M. Pada tahun 702 H / 1302 M – 1303 M, sebuah gempa telah merusak mesjid.

Maka Pangeran Sahd pun mengadakan renovasi masjid. Pembangunan masjid dimulai lagi pada tahun 725 H / 1325 M oleh Pegawai Hisbah Kairo, Muhammad bin Hassan Al-As’ardy (berasal dari Sa’rad, Armenia). Pada masa Sultan An-Nashir Muhammad bin Qolawun Al-Mamluky, Pangeran Alaauddin Thibris—Panglima Tentara—mendirikan Madrasah Thibrisiyyah yang kemudian disambungkan dengan Masjid Al-Azhar. Kemudian Pangeran Alaauddin Aqbagha mendirikan Madrasah Aqbaghiyyah di pintu yang berhias sebelah kiri (Pintu Utama Masjid).

Pada tahun 761 H / 1360 M, Sultan At-Thowasyi Basyir Al-Jamidar An-Nashiry merenovasi masjid dan mengadakan perluasan lagi. Kemudian menyediakan mushaf-mushaf di dalamnya, menetapkan seorang Qori, dan menyediakan bagi orang-orang faqir makanan yang dimasak setiap hari. Ia juga menyediakan pelajaran fiqih Madzhab Hanafy. Pada tahun 800 H / 1360 M menara masjid runtuh, dan langsung dibangun kembali pada masa Sultan Barquq yang membiayainya dengan hartanya sendiri. Setelah itu menara masjid sempat runtuh lagi dua kali (817 & 827 H / 1414 & 1423 M), dan setiap itu terjadi langsung dibangun kembali. Pada masa Sultan Barquq juga dibangun talang air, tempat minum dan lampu penerangan. Sultan Qaitbay Al-Mamluky menghancurkan pintu sebelah barat laut Masjid pada tahun 873 H / 1468 M. Kemudian mendirikan menara untuk adzan di sebelah kanan Masjid, yang termasuk menara paling indah di Kairo. Sultan Qaitbay merupakan bangsawan yang paling banyak perhatiannya terhadap Al-Azhar. Ia juga berjasa dalam mendirikan penampungan bagi orang-orang faqir dan para ulama. Bahkan Ibnu Iyas mengatakan bahwa sultan ini mempunyai kebiasaan aneh, yaitu selalu datang ke Al-Azhar dengan menyamar dalam pakaian orang Maroko untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang tentangnya. Lalu Sultan Qanshuh Al-Ghury Al-Mamluky membangun menara yang mempunyai dua kepala yang merupakan menara masjid Al-Azhar yang paling tinggi pada tahun 1190 H / 1776 M.

 Menara ini merupakan menara yang unik yang menjadi ciri khas Dinasti Mamluky. Masa ini merupakan masa-masa terakhir Dinasti Mamluky. Pada masa Daulah Utsmaniyah, Al-Fatih Salim Syah sering mengunjung Al-Azhar dan sholat di dalamnya. Ia memerintahkan untuk dibacakan Al-Quran di dalamnya, shodaqoh untuk fuqoro yang menuntut ilmu di sekitar masjid. Di dirikan juga sebuah ruangan khusus untuk sholat orang-orang tuna netra yang disebut Zawiyyah Al-’Umyaan yang dibangun oleh Utsman Katakhda Al-Qozdughaly (Qasid Oughly) pada tahun 1148 H / 1735-1736 M.

 Abdurrahman Katakhda yang masih kerabat Utsman Al-Qazdughaly, termasuk orang yang paling dermawan terhadap Al-Azhar. Ia telah membangun koridor dengan sebaik-baiknya, mendirikan qiblat sholat, mimbar untuk khutbah, sekolah untuk mengajar anak-anak yatim, membuat talang air dan membuat kuburan tempat dia di kubur. Adapun pada masa Muhammad Ali Pacha, pada awalnya mereka tidak menaruh perhatian pada Al-Azhar. Pada akhir abad ke XI Hijriah / XVII Masehi, ditetapkan adanya kedudukan Syaikh Al-Azhar. Pada masa Sultan Salim I Al-Utsmany terjadi kevakuman dalam perkembangan keilmuan Al-Azhar disebabkan pengiriman sejumlah Ulama Al-Azhar ke Al-Astanah—Ibu Kota Daulah Utsmaniyah—padahal mereka adalah orang-orang pilihan dari Madzhab Sunny yang empat. Akan tetapi para Khadevy pada masa-masa terakhir, mengerahkan usaha untuk menjaga kebesaran dan kemegahan Al-Azhar.

Dikutip dari Bebagai sumber